Sabtu, 14 Maret 2020

Kisah Pendaki Tersesat di Gunung Ciremai - PART 3

PART 3!!

Misteri di Lembah Gunung Ciremai

Kemudian Kami semua melanjutkan kembali perjalanan mencari jalur Linggarjati. Ketika Kami menyusuri jalan sekitar  bibir kawah, Kamipun menemukan jalan setapak yang Kami kira jalur Linggarjati. Kami mengikuti jalur setapak tersebut tidak lama kemudian sekitar kurang lebih 15 menit Kami menelusuri jalan tersebut, ternyata jalur setapak tersebut terputus tidak ada jalan lagi tertutup tanaman liar yang ada di sekitar puncak. Dengan cepat Kami semua memutuskan kembali lagi ke puncak karena Kami tidak mau ambil resiko untuk tersesat di Gunung ini, belum ada satupun dari Kami yang panik setelah menemukan jalan setapak yang salah tersebut. Lalu Kami menemukan kembali jalan setapak salah satu dari Kami mengecek jalan setapak itu terlebih dahulu dan setelah dicek betul jalur itu benar-benar jalur untuk turun kekaki Gunung Ciremai. Kami menganggap bawah jalur yang Kami lewati itu benar mengarah ke Linggarjati setelah sekitar 20 menit Kami menempuh jalan setapak yang Kami jadikan acuan untuk sampai kekaki Gunung Ciremai tepatnya jalur Linggarjati.  Ternyata Kami semua disuguhkan dengan pemandangan yang Kami tidak pernah lihat sebelumnya terutama Naning kawan Saya yang belum pernah melihat bagaimana pohon edelweis ternyata Kami semua berada di ladang bunga abadi tersebut dan yang luar biasanya pohon edelweis sangat besar-besar bahkan Naning sempat memetik bunga tersebut sambil menaiki salah satu pohon edelweis disana, dan bahkan Encam untuk memetik bunga sempat menarik dulu dahan agar bisa memetik bunga yang berada di pucuknya yang bagus dan sedang mekar. Dengan sangat gembiranya Kami semua mulai memetik bunga-bunga abadi tersebut sambil menyusuri jalan setapak hingga tanpa Kami sadari ternyata Kami berada sudah tidak dijalan setapak lagi melainkan Kami semua berada didalam rongga tanah. Mungkin dapat di ibaratkan persis seperti jalur air yang sudah kering awalnya rongga itu dalamnya sekitar betis orang dewasa, tetapi tanpa Kami sadari sambil memilih-milih bunga abadi tersebut ternyata rongga tanah yang Kami susuri semakin dalam dan besar malah kurang lebih Kami ada di kedalaman 4-5 meter dalam rongga tanah tersebut. Kemudian Kami berhenti sejenak untuk istirahat dan membicarakan
 "Kenapa kok makin lama makin dalam sama makin lebar yah?....,”
"Cam gimana kalo kita balik lagi ke atas soalnya nih jalur gw gak yakin?....” Saran Saya kepada Encam.
"Wah Tis kalo kita naik lagi udah jauh banget nih puncak dari sini kita semua bisa ke maleman sampe bawah” Jawab Encam.
Kedua teman Sayapun yang lain mereka berpikir sama.
"Ia ternyata kita sudah jauh juga dari puncak?...,”
 Mungkin kita sekarang sudah sampai Lembah Gunung ini. Perasaan Saya pribadi sudah mulai tidak enak meskipun dari Kami ada yang masih santai dengan keadaan saat itu malah ada yang berpendapat diantara Kami.
"Siapa tahu kita bisa nemuin jalur baru dan lebih cepat sampai ke bawah sana”.
Kami semua terus menyusuri jalur air (rongga tanah kering) yang terus semakin dalam akhirnya Kami memutuskan untuk naik ketepi rongga, Kami terus menyusuri tepi rongga tersebut akhirnya Kami ditemukan hamparan rumput gajah yang sangat luas mungkin Kami dapat mengibaratkan seperti kita melihat sawah-sawah yang terhampar sangat luas dipedesaan. Dari jarak kurang lebih 50-100 meter baru terlihat sebatang pohon kecil yang hidup di dataran tinggi di antara rumput - rumput gajah di sekitarnya. Dengan berpikir positif Kami semua melanjutkan perjalanan untuk menuju ke kaki Gunung, lagi-lagi Kami mengulangi kejadian yang sama awalnya Kami menelusuri hamparan rumput liar tersebut hanya sekitar tingginya sebetis orang dewasa, Semakin Kami menelusuri kebawah sana, ternyata Kami harus mengeluarkan belati yang Kami bawa untuk membuka jalan yang terhalang rumput itu terus semakin tinggi.
 Naning adalah orang yang terpendek dari Kami semua ia mulai tertutup oleh rumput liar tersebut tinggi rumput liar hampir melewati pundak Naning, tidak lama berselang Naning yang berjalan dipaling belakang berteriak.
"Mundur....mundur..mundur...!!!!”
"Kayanya kita gak bisa terusi jalur ini semakin kebawah semakin tinggi rumputnya kita semua bisa ketutup rumput ini?...” Seru Naning.
Saat Naning berkata seperti itu ia sudah berada diatas pohon yang ada disekitar situ yang tingginya mungkin 3-4 meter batang pohon itu besarnya kurang lebih  selengan orang dewasa, Mengapa Naning naik keatas pohon tersebut ternyata Naning merasa menginjak benda yang bergerak dan licin itulah sebabnya ia naik keatas pohon ia takut yang ia injak itu adalah ular yang besar. ( ungkapan ini di ucapkan setelah Kami sudah dalam perjalanan pulang ke Bekasi ). 
Akhirnya Kami bertiga mengikuti  perintah Naning, Kami semua kembali turun kerongga tanah yang tadi yang tingginya mungkin 2-3 kali lipat dari kita semua,
Langitpun mulai gelap, tanpa Kami sadari sampai saat ini bagaimana Kami semua bisa keluar dari rongga itu. Yang masih sangat jelas sampai sekarang kurang lebih sekitar jam lima sore Kami menemukan aliran air seperti sungai yang airnya sangat sedikit dan penuh bebatuan itu berada di tengah-tengah jurang disebelah kanan dan kiri Kami tebing - tebing yang sangat curam, haripun semakin malam akhirnya Kami semua memutuskan untuk mendirikan tenda didekat sungai tersebut.

Malam Pertama Kami Tersesat di Lembah Gunung Ciremai

Kami akhirnya dengan cepat mendirikan tenda untuk beristirahat. Setelah tenda selesai berdiri, Kami baru menyadari bahwa perbekalan makanan Kami sudah kami habiskan waktu dipuncak sana, mungkin untuk menghangatkan tubuh dan menambah tenaga masih bisa walaupun hanya dengan meminum segelas kopi panas. Akhirnya Kami membuka carrier yang dibawa oleh Naning karena dia yang membawa konsumsi Kami lalu Naning mencari kopi dan gula ternyata kopi dan gula yang Kami bawa hilang dari carrier. Kami semua mencari dan membongkar carrier itu tetap saja kopi dan gulanya tidak ada, yang tersisa hannya garam dan cabai saja, dengan keadaan yang sangat dingin dan perut Kami terasa sangat lapar Kami semua menyemil garam dan cabai yang masih tersisa Kami anggap lumayan untuk memberikan rasa pada lidah Kami yang tadinya hanya meminum air dari sungai yang Kami telusuri. Saat itu Saya ingin membuang air kecil lalu Saya keluar dari tenda kearah belakang tenda di saat sedang membuang air kecil Saya tidak sengaja melihat lampu - lampu pemukiman di wilayah kaki Gunung Ciremai, Saya langsung memanggil salah satu kawan Saya.
"Ning kita dah deket tuh lampu - lampu pemukiman dah keliatan dari sini sama genting nya!”
Naning, Encam, Peking mereka langsung keluar dari tenda langsung bertanya,
"Mana?....” Tanya mereka.
Ia pun semua melihat pemukiman yang terlihat cukup dekat dengan tempat Kami bermalam. Kami semua kembali masuk ke dalam tenda, Naning merencanakan untuk besok pagi.
 "Besok kita semua bangun jam limaan pagi terus kita tutup tenda paling sekitar jam sembilan kita dah sampe diperkampungan”
 Kami semua benar - benar sangat gembira melihat perkampungan yang cukup dekat terlihat sampai rasa lapar agak Kami lupakan bukan hilang, Kami langsung beristirahat untuk besok paginya melanjutkan perjalanan ke perkampungan yang tadi Kami lihat itu. 
Sekitar pukul lima pagi Kami semua sudah terbangun  mungkin karena Kami semua sudah tidak sabar lagi ingin cepat sampai di perkampungan agar bisa mengisi perut yang sudah kosong dari kemarin. 
Kami bergegas menutup tenda dan mengecek perlengkapan yang Kami bawa masing - masing karena jangan sampai teledor seperti kasus gula dan kopi kemarin tiba - tiba bisa hilang, setelah semua sudah beres perlengkapan yang Kami bawa Kami pun berdoa meminta agar di lancarkan dalam perjalanan pulang.
Sebelum Kami melangkah untuk melanjutkan perjalanan, Kami memastikan melihat kearah perkampungan yang Kami lihat cukup dekat semalam ternyata tidak ada satu rumah penduduk yang Kami lihat Kami semua hanya melihat hamparan hutan yang sangat luas dan tertutup oleh pepohonan yang besar dan rindang Kami hanya melihat hamparan hutan belantara, padahal Kami sangat jelas semalam melihat pemukiman penduduk dengan jelas terlihat sampai bola lampu dan genting rumahnya. 
Kami semua mulai sadar ternyata Kami memang mulai tersesat semakin dalam ke hutan yang Kami daki ini, di dalam pikiran Kami semua sama Kami tersesat bukan hanya karena salah arah tetapi ada sebab lain. Namun di antara Kami tidak ada yang berani mengucapkannya. 
Encam mulai mengambil alih untuk membuka jalan, 
"Ayo pasti kita dapet jalan keluar gw yakin, Ayo kita semangat” 
Kami mulai melangkah mengikuti kemana arah Encam yang menjadi pembuka jalan dia memilih mengambil naik ke atas tebing yang ada di sebelah kiri Kami. 
Kami pun mulai merangkak menaiki tebing itu tanpa alat bantu sama sekali untungnya tebing itu tanah bukan bebatuan Kamipun bisa menaiki tebing dengan cara memegang akar-akar, ranting, dan bebatuan untuk membantu Kami  mencapainya keatas tebing itu. 
Sampai diatas tebing Kami berada dihutan yang sangat lebat dan pepohonan yang sangat besar mungkin untuk dipeluk oleh tiga orang dewasa pun belum tentu bisa memeluknya. Keadaan di hutan tersebut benar-benar alami, sebelumnya Kami  tidak pernah menemukan suasana atau keadaan hutan yang sealami ini sampai seperti tak tampak seorang pun pernah menjamahnya. 
Lalu Encam membawa Kami untuk menemukan jalan keluar dari lembah atau hutan ini, setelah sekitar dua jam Kami terus membuka jalan, Kami menemui jalan buntu Kami berada di atas jurang yang sangat curam entah berapa meter kedalaman jurang tersebut. Encam pun mengambil arah balik tak lama kemudian  Peking berhenti dan berteriak agak kencang.
    "Kalo gini berarti kita di bawa Setan kederrr ! Gw tahu mungkin ini semua gara-gara edelweis yang kita petik di puncak. Pokoknya semua buang bunganya!!" .
Di salah satu antara Kami mulai  mengeluarkan bunga tersebut dari carriernya untuk membuangnya, dengan keadaan yang sangat panik Kami membuang bunga abadi yang Kami petik di puncak sana Kami letakkan didekat pohon besar yang berada disana sambil membaca surat Al-fatihah bersamaan. Alasan Peking atau Kami mencurigai bunga tersebut karena Kami bisa sampai kejalur ini karena rongga tanah yang ada didekat puncak yang Kami lewati di atas sana dengan ladang bunga abadi yang tumbuh mekar berada dihamparan Kami. 
Perjalananpun Kami lanjutkan dengan keadaan yang sangat panik dan takut salah satu dari Kami ada yang  memulai Bertakbir.
     "Allah...huakbarAllah...huakbar Allah...huakbar...”
Lalu Kami berempatpun bersama-sama Bertakbir dan bahkan selama Kami mencari jalan keluar entah karena rasa takut yang mulai ada di diri kita semua tanpa Kami sadari Kami bertakbir seolah - olah seperti tak mau terputus apabila dari salah satu teman Kami terputus mengucapkan takbir otomatis salah satu dari Kami melanjutkan takbir begitu terus yang Kami lakukan, selama Kami mencari jalan keluar.
Burung - burung Penghuni Lembah Ciremai

Belati Encam terus menyingkirkan ranting-ranting yang menghalangi perjalanan dihutan yang Kami lewati, setelah Kami melewati hutan yang sangat lebat dan pepohonan yang sangat besar–besar. Kami menemui hutan kering istilah itu Kami yang memberikan nama karena hanya berisikan ranting-ranting kering yang tidak ada daunnya sama sekali, selain itu cukup luas hutan kering tersebut.
Sekitar lima menit Kami memasuki hutan kering tiba-tiba satu demi satu burung-burung berdatangan jenis burungnya sama persis seperti jenis burung yang Kami temui dipuncak sana, yang Kami tak habis pikir saat Kami bertemu dipuncak sana hanya satu ekor burung yang datang menghampiri Kami. 
Di hutan kering sangat berbeda Kami dihampiri ratusan burung dengan jenis yang sama mengikuti Kami selama perjalanan di hutan kering itu. Uniknya burung-burung itu tidak takut sama sekali dengan Kami burung-burung itu tidak terbang melainkan seperti orang berjalan ia hanya meloncat-loncat di sekeliling Kami.
Kami Pun merasa ketakutan dan benar-benar kejadian ini belum pernah terjadi kepada Kami berempat, dengan jumlah burung terus-menerus semakin banyak selama Kami mencari jalan keluar dari hutan kering namun apabila burung-burung itu mematuki Kami semua, mungkin Kami tidak bisa melanjutkan mencari jalan pulang. 
Kami sangat beruntung burung-burung yang sangat amat banyak itu malah terlihat jinak dengan Kami sampai-sampai Naning mencoba berbicara kesalah satu ekor burung yang persis hinggap diranting yang persis di depan mata kepala Naning, Burung itu hinggap dan menoleh kearah Naning spontan mengajak seekor burung untuk bekomunikasi Naning bertanya kepada burung itu dengan nada yang sedikit putus asa untuk menemukan jalan pulang.
"Burung lo tahu gak kemana jalan pulang?”
Kamipun menghentikan langkah dan bertanya kepada Naning,
 "Ning dia gak bakal ngerti bahasa kita?...”
"Siapa tau dingasih tahu jalan pulang kasian dia sama kita!” Jawab Naning putus asa.
Jujur terus terang buat Saya pribadi disaat kejadian itu Saya pun merasa putus asa karena yang Kami lihat hanya ranting-ranting kering disekitar Kami. Yang dapat Kami lihat hanya warna coklat tidak ada warna lain dan jumlah burung yang sangat banyak. Lalu Peking menghentikan langkahnya dan ia berkata dengan rasa emosi yang bercampur aduk yang sudah putus asa.
"Gw punya ide Cam bagai mana klo hutan kering ini kita BAKAR?..."
"Gila aja lo King kita semua bisa MATI KONYOL kepanggang, gw gak setuju!” Jawab Encam.
Saya dan Naning tidak setuju dengan ide Peking untuk membakar hutan kering ini. Peking tetap Saya ingin melakukan hal konyol itu dia bilang,
"Kita cari sungai di deket sini kita bisa aman di sungai itu, kita gak bakal ke panggang terus team SAR datang kita bisa selamat paling resikonya kita di penjara. Daripada kita semua mati konyol kelaparan cari jalan keluar”
 Kami bertiga tetap saja tidak setuju dengan pendapat Peking, Encam tetap saja ia optimis untuk bisa dan yakin keluar dari hutan ini. 
Pada saat kejadian itu dalam pikiran Encam adalah,
“Yang ia ungkapkan setelah Kami keluar dari hutan itu” 
Ia memiliki rencana lebih baik kita terus mencari jalan keluar untuk mengisi perut kita, selama mencari jalan keluar kita bisa memanah burung-burung yang banyak disekitar kita bahkan bisa Kami tangkap burung-burung tersebut karena sangat banyak dan jinak dari pada kita membakar hutan.
Akhirnya Kami tidak melakukan pelanggaran hukum untuk membakar hutan kering itu, Kami semua melanjutkan perjalanan untuk mencari jalan keluar dari hutan kering yang sedang Kami cari jalan keluarnya.  
Langkah demi langkah Kami menyusuri burung-burung yang sangat banyak sedikit demi sedikit ia berkurang dan tak lama kemudian Kami keluar dari hutan kering dan Kami tidak melihat lagi seekor burung pun yang tadi mengikuti Kami selama berada di hutan kering sampai keluar, Kami menemukan hutan yang hijau banyak pepohonan lengkap dengan daunnya. 
Setelah Kami berada dia antara perbatasan hutan kering dan hutan hijau, Encam langsung menaiki salah satu pohon yang ada disekitar Kami yang tingginya sekitar 10-15 meter ia hanya ingin memastikan  dimanakah perkampungan yang Kami lihat tadi malam itu, setelah Encam sudah terlihat tinggi menaiki pohon Saya bertanya.
"Keliatan jalur pulang Cam?”
Encam tidak menjawab, mungkin karena kurang jelas mendengar karena ia lumayan tinggi menaiki pohon itu, setelah melihat-lihat sekeliling iapun turun dari pohon.
 Ia berkata dengan nafas yang terlihat benar-benar sangat capek.
"Gw ga bisa liat apa - apa kecuali luasnya hutan belantara ini, setelah nanti kita lewatin hutan hijau itu kita ketemu lagi hutan kering tapi gak terlalu luas kaya yang kita baru lewatin ini, kayaknya  itu keliatan dari atas makin landai, ternyata Allah benar-benar menciptakan hutan ini seperti di sekat-sekat kelihatan dari atas sana segaris ijo segaris lagi coklat, ijo muda pokoknya kaya gitu dah!”
Kami semua mendengar kabar dari Encam semakin merasa tidak yakin hari ini Kami dapat keluar dari hutan belantara, selain waktupun terus berjalan kira-kira saat itu pukul sembilan pagi dan Kami menyimpulkan bahwa masih panjang lagi jalur yang Kami harus tempuh untuk sampai di sebuah perkampungan yang belum jelas keberadaanya, dan sangat tidak mungkin Kami bisa sampai hari ini. 
Setelah istirahat sebentar, yang Kami punya hanya stock air semua hanya bisa minum, lagi-lagi untuk menahan lambung yang sudah terasa sakit, karena Kami tidak menemukan sedikitpun buah atau apapun yang dapat dimakan kecuali pucuk-pucuk daun muda yang Kami tahu tidak beracun yang bisa dimakan oleh Kami di sekitar hutan ini untuk menahan asam lambung Kami. 
Kami memulai melanjutkan langkah, lagi-lagi Kami harus memotong ranting-ranting yang menghalangi Kami, suasana kembali lagi seperti sebelum Kami melewati hutan kering, Kami disuguhkan pepohonan yang sangat besar - besar dan di sekitarnya dipenuhi pepohonan kecil - kecil yang menghalangi Kami.
 Di pertengahan perjalanan Saya dan Encam mengalami kejadian cukup aneh, Kami berdua tiba - tiba seluruh kaki Kami berdua terasa ada yang bergerak sangat banyak terasa kecil - kecil dan sakit dan sangat perih Kami pun berdua berteriak,
"Aduh..,aduh....aduh.....Apaan ini kok sakit banget kekaki gw ada yang bergerak?”
Peking dan Naningpun, yang berjalan lebih dahulu ia berbalik kearah Kami berdua.
"Kenapa Cam?”
Mereka berduapun bingung melihat Kami yang sedang kesakitan sambil menepak-nepak kaki Kami, Kaki Kami berdua terlihat tidak ada luka sedikitpun atau sobekan tapi anehnya terasa sakit, perih dan seperti ada yang bergerak di dalam kulit kaki Kami, Encam pun teriak.
"Alkohol....alkohol di mana? “
Akhirnya Encam menggosokan kekakinya dengan perban yang sudah diberi alkohol Sayapun sama melakukan itu tidak lama kemudian rasa sakit itupun berlahan hilang, Kami mencoba mencari penyebabnya karena selain dari Kami berdua Naning dan Peking memakai celana panjang jadi mereka tidak merasa kesakitan hanya Saya berdua yang menggunakan celana pendek.
 Jalan yang Kami lewati sangat lebat penuh dengan tumbuh-tumbuhan liar yang Kami sebelumnya tidak ketahui. Ternyata Kami tahu penyebab kaki Saya berdua Encam terasa sakit. Karena kedua kaki Kami menyentuh tumbuhan yang apabila terkontak langsung dengan kulit ia akan terasa gatal perih dan nyeri. Salah satu dari Kami mencabut tumbuhan liar itu dan mencoba menempelkan kekulitnya ternyata benar daun itu yang menyebabkan Kami berteriak merasa kesakitan.
Ternyata hutan hijau yang Kami lewati saat ini sangat berbeda dengan hutan hijau sebelumnya, Saya seringkali tergores ranting-ranting dan terkena duri hutan yang ukuran nya lebih besar dibanding duri-duri yang ada didataran rendah. Walaupun Saya mulai banyak luka dari jalur yang Kami lewati, Saya tidak terlalu menghiraukan rasa sakit hanya pada awal saja terkena lalu tidak lama kemudian tidak terlalu terasa kecuali terkena tetesan air embun yang ada didedaunan lumayan terasa perih, tidak lama berselang, sendal Saya bukan hanya putus, tepatnya berantakan kebetulan hanya Saya sendiri yang tidak membawa sepatu Saya hanya membawa sandal. Salah satu dari  Kami memberikan sandal jepit tidak lama kemudian sandal itupun putus karena jalur yang Kami lewati basah dan licin penuh dengan tumbuh-tumbuhan liar yang tak beraturan. Akhirnya mau tidak mau Saya harus melanjutkan perjalanan tanpa alas kaki, telapak kaki Saya pun mulai mengeluarkan darah karena tergores entah ranting atau apapun itu ternyata yang terluka bukan hanya Saya, Encampun ternyata dari kaki dan tangannya mulai mengeluarkan darah juga, mungkin karena Kami berdua hanya menggunakan kaos dan celana pendek saja. Di tengah perjalanan  Kami terhenti, Encam memiliki ide,
"Bagaimana kalau sekarang kita cari sungai terus kita telusurin karena air pasti mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang rendah, selain itu kalo kita kemalaman kita bisa buka tenda di sekitar sungai agar tidak susah cari air, bagaimana?”
Kami semua setuju dengan pendapat Encam itu. Encam akhirnya langsung memilih jalur ke arah yang terdengar aliran air sungai, Kami bertiga bergerak mengikuti dibelakang Encam. Tak lama berselang Kami bertiga yang hati-hati memilih jalan yang tidak rata terus menurun dan agak licin, Kami mendengar patahan-patahan ranting yang tertimpa benda.
Krusaaaakkkkkkk.......debuggggg!!
Kami semua melihat kedepan ternyata Encam yang tadi di depan Kami terpelosok, Kami semua berteriak.
"Cam..cam....cam..Lo ga apa - apa ?”
Tidak ada jawaban dari Encam sedikit pun, Kami semua sangat takut terjadi apa-apa padanya, Kami terus bergerak semakin cepat kedepan dan ternyata didepan Kami seperti tebing yang lumayan dalam penuh dengan rerantingan dan tanah yang agak gembur, Kami bertiga melihat Encam dibawah sana yang sedang menahan kesakitan. Mungkin jaraknya sekitar 7-8 meter dari tempat Kami berdiri, Kami langsung turun menghampiri dengan rasa takut melihat Encam yang sedang berbaring menahan kesakitan.
"Cam lo ga apa - apa ?”
"Eee..Gw gggg...pa..apaa..!” Jawab Encam dengan suara yang tertahan seperti susah bernafas.
Kami bertiga berusaha membantu Encam untuk bangun dan memberikan air minum akhirnya Encam bisa kembali bernafas normal, untungnya badan encam tidak tertancap ranting pohon yang patah persis didekat pinggang belakang entah apa jadinya apabila ranting itu menembus ditubuh Encam mungkin Encam tidak dapat lagi melanjutkan perjalanan. 
Dengan kejadian yang baru saja Encam alami Kami semua semakin takut terjadi sesuatu kepada Kami berempat dari hutan belantara ini yang Kami tidak ketahui ada apa didepan Kami, Disela Kami beristirahat dan menunggu Encam untuk kembali membaik, Saya mulai mengingat selama pendakian ke Gunung Ciremai ini Kami berempat hanya bertemu satu kelompok pecinta alam mereka berjumlah tiga orang yang mengaku baru saja turun dari puncak sana. Kami sempat berbicara dari salah satu mereka,
"Dah turun mas?..”
“Ia nih mas wah masnya telat sih kita semua dah dua hari disini sekarang kita turun dulu ya mas!”
Setelah Kami sedikit mengobrol ternyata yang melakukan pendakian dijalur Palutungan yang sedang Kami tempuh hanya Kami berempat saja tidak ada pendaki lagi selain Kami berempat yang sedang menuju kepuncak Ciremai, kabar itu Kami tahu dari salah satu pecinta alam yang Kami jumpai selama Kami berada di Gunung Ciremai, mereka bertigalah dan peserta pelantikan menjadi orang terakhir yang Kami temui selama Kami melakukan pendakian sampai saat ini. Setelah Encam merasa membaik Kamipun bersama-sama berdo'a  didalam kondisi yang benar-benar merasa ketakutan semoga tidak terjadi apa-apa dengan Kami selama melanjutkan mencari jalan untuk keluar dari hutan itu.
Peking mulai mengambil alih  untuk membuka jalan tak lama kemudian Kami melanjutkan perjalanan Kami, Kami belum menemukan sungai tetapi Kami malah kembali menemukan hutan kering yang sebelumnya Encam lihat dari atas pohon yang ia naiki, Kamipun masuk kembali kehutan kering berharap Kami semakin mendekati aliran air sungai. Di saat Kami mulai memasuki kedalam hutan kering satu persatu burung yang sama seperti dihutan kering sebelumnya berdatangan tidak kalah banyaknya jumlah burung itu seperti dihutan kering yang sebelumnya Kami lewati, Kami berempat hanya saling melirik dengan masing-masing memiliki rasa takut yang tidak jauh berbeda, Naning kembali seakan mengajak bicara pada burung-burung itu mungkin yang ada dalam perasaan Naning pada saat itu mungkin tidak jauh berbeda dari Kami bertiga yang semoga burung-burung itu benar-benar makhluk yang nyata dialam kehidupan kita bukan sebaliknya. 
Naning berbicara pada burung-burung itu,
"Burung kita teman tolong kasih tau jalan keluar dari hutan ini!”
Kondisi mental Kami pada saat itu benar - benar kacau bercampur aduk ketakutan, emosi, cape, putus asa dan rasa lemas yang semakin terasa karena tidak sedikitpun makanan yang masuk ke lambung Kami, tiba-tiba salah satu dari Kami mulai berteriak.
"Tolong.....tolong.....Pak Sandi....tolong kita tersesat dihutan ini,tolong......tolong.......team SAR......!!!”
    Dengan keadaan seperti itu Saya merasa sangat putus asa dan Kami semua tidak bisa menutupi kesedihan dan rasa takut itu, Kami semua bergantian berteriak meminta tolong dengan suara yang agak parau dan memohon kepada Allah SWT, untuk diberikan petunjuk jalan keluar dari hutan belantara ini. Burung-burungpun mulai berkurang sedikit demi sedikit Kami semua berharap seperti dihutan kering sebelum nya Kami akan cepat keluar dari hutan kering ini, alhasil dugaan Kami benar Kami sedikit demi sedikit mulai keluar dari hutan kering itu lagi-lagi, Burung-burung itupun menghilang entah kemana.           
 Lalu Kami menjumpai hutan yang berbeda dari hutan-hutan sebelumnya yang Kami sudah lewati. Suara aliran airpun mulai terdengar gemuruhnya walaupun terdengar belum begitu jelas Kami semua sedikit mempercepat langkah mencari sumber suara aliran air yang berasal dari mana karena Kami yakin pasti itu sungai. Karena waktu pun semakin gelap Kami takut kemalaman ditengah hutan belantara itu yang tidak ada tempat yang landai untuk mendirikan tenda tempat Kami beristirahat karena track yang Kami lewati mulai curam dan cukup lembab. Kami Pun mulai berhati-hati melewati track yang Kami tempuh akhirnya Kami mendengar semakin jelas arah sumber aliran air itu Kami semakin yakin bahwa tidak lama lagi Kami menemukan sungai. 
Menurut Kami karena saat itu lebih baik Kami bermalam di dekat sungai dibandingkan di dalam hutan yang Kami sedang lalui ini, tak lama kemudian Kami benar-benar menemukan sungai yang Kami cari tetapi untuk Kami bisa kesungai tersebut, Kami harus menuruni tebing yang dalamnya kira-kira 20 meter dan sangat curam untuk melewati sampai ketepi sungai yang ada di bawah sana. 
Setelah Kami mengecek bagaimana caranya untuk bisa kebawah sana dengan aman, akhirnya Kami semua sepakat memilih merambat melewati tebing itu karena menurut Kami tidak ada jalan lain kecuali turun dari tebing. Bagaimanapun caranya Kami semua harus melewati tebing itu berlahan satu persatu dari Kami mulai menuruni tebing itu dengan bantuan yang seolah-olah disediakan oleh alam akar-akaran dan ranting-ranting  yang menjorok kebawah tebing. 
Kami terus berusaha jangan sampai terjatuh karena posisi tebing dapat dikatakan nyaris tegak lurus, sesekali Kami tidak dapat menjangkau ranting ataupun akar untuk berpegangan Kami mau tidak mau menusukan kesepuluh jari Kami ketanah yang menjadi dinding tebing tersebut, Kami semua sudah tidak memperdulikan rasa sakit yang terasa pada jari-jari Kami, yang terpenting untuk Kami bisa bertahan merambat di dinding tebing untuk mencapai sungai itu dengan selamat.
Namun Saya berdua Encam yang tidak memakai sarung tangan alhasil telapak dan jari-jari Kami sedikit demi sedikit mengeluarkan darah, karena hanya jari-jari tangan dan kaki Kami yang menjadi tumpuan untuk dapat bertahan merambat di dinding tebing tersebut. Terkadang tanah atau batu yang Kami jadikan pegangan atau pijakkan sering jatuh (longsor). Longsoran batu-batu dan tanah itupun sering menimpah diantara Kami yang turun lebih awal, Kami menuruni tebing itu mengatur jarak dengan cara zig-zag agar longsoran tidak menimpa kepala Kami.
Akhirnya satu persatu dari Kami sudah sampai kebawah sana, 
"Ayo semangat gw dah sampe bawah........!!”
 Kami semua tidak menyia-nyiakan air sungai itu Kami langsung meminum air sungai yang sangat jernih dan segar itu yang dinginnya seperti air yang kita ambil  dari dalam kendi dari tanah liat. Kami semua tak henti-henti mengucapkan syukur kepada Allah, Ternyata Allah membuktikan lagi kebesarannya tanpa Kami sadari Kami mampuh menahan berat badan Kami dan ditambah beban carriel dipundak Kami masing-masing dan dalam kondisi yang nyaris bergantungan di dinding tebing Kami semua mampu menahan beban itu  "Subhanallah,” baru saja Kami semua diberikan kekuatan. 
Sambil menikmati segarnya air sungai dan istirahat sejenak karena badan Kami sangat terasa lelah lambung yang belum terisi apapun kecuali air dan pucuk-pucuk daun muda yang ada selama Kami lewati, setelah istirahat  Kami semua memutuskan untuk mengikuti aliran sungai, karena keadaan sekitar Kamipun mulai gelap menunjukkan sore hari dan kabut-kabut tipispun mulai menghalangi pandangan mata Kami. 
Kami bergegas melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai karena sungainya tidak banyak airnya kira-kira paling dalamnya sekitar betis orang dewasa dalamnya kurang dari setengah meter. Mungkin karena sungai itu berada masih di dataran tinggi, Kami terus berjalan kurang lebih Kami berjalan 15-20 menit, Kami ditemukan seperti air terjun yang tidak terlalu tinggi  mungkin sekitar 7-8 meter jarak untuk sampai ke bawah sana. Setelah Kami melihat-lihat kebawah sana  sambil berpikir bagaimana caranya Kami semua bisa turun sampai kebawah Encam menanyakan tali Gunung yang Saya bawa dibalik bag cover.
"Tis mana tali Gunung yang kita bawa?”
"Ada Cam gw ambil ya!” Jawab saya.
"Kita bisa turun pake tali ini aja satu tangan pegangan tali terus  satu    tangan lagi pegangan batu - batuan pasti bisa tapi hati - hati ya!”  Encam menjelaskan.
"Gw duluan Cam pegangngin talinya yah Cam" Seru Nanng.
Kami semua memberi semangat Naning untuk mencoba mencari cela-cela untuk sampai kebawah sana mungkin tidak terlalu tinggi jaraknya yang jadi masalah tebing yang berdinding bebatuan itu sangat licin, karena bebatuan sudah berlumut dan air sungaipun membasahi hampir seluruh dinding tebing yang mirip air terjun itu dan dibawah sana penuh dengan bebatuan.
"Ayo Ning hati - hati pasti bisa kita turun!”
Itu yang terucap dari Kami, dengan berlahan Naning memegang tali yang Kami pegang dari atas sedikit demi sedikit Naning mulai mendekat kebawah sana dan ia sampai, ia berteriak dari bawah sana.
"Ayo lo semua pasti bisa ikutin gw caranya waktu tadi turun!”
Kami semua satu persatu berhasil menuruni yang mirip air terjun itu.
Setelah Kami semua sampai ke bawah perjalanan Kami lanjutkan mungkin sekitar satu jam lamanya Kami menelusuri sungai itu lagi - lagi, Kami ditemukan mirip sekali seperti air terjun yang baru saja Kami lewati. Hanya bedanya tingginya dan sebuah pohon besar yang sudah tumbang yang besarnya sekitar perut kerbau yang gemuk melintang seperti membuat sebuah jembatan sampai ke bawah sana. 
Kami pun semua mencoba mencari ide bagaimana Kami semua bisa ke bawah sana, karena semakin Kami melewati jalan yang terus ke arah bawah atau mengikuti aliran sungai ini pasti Kami akan terus lebih cepat menemukan kaki Gunung Ciremai itu. Setelah Kami melihat-lihat sebatang pohon besar itu permukaanya  penuh dengan lumut dan basah karena terkena aliran air sungai, dinding-dinding tebingpun benar-benar sangat berbeda dan tali yang Saya bawa pun tidak cukup panjangnya untuk sampai ke bawah sana. Lalu Sayapun memutuskan yang pertama untuk turun kebawah,
 "Kayanya kita bisa turun kebawah lewat pohon yang tumbang ini pelan-pelan kita lewat pohon ini, nih pohon kita jadiin jembatan buat sampai bawah” 
Salah satu dari Kami bilang, "Tis bahaya takutnya walaupun tuh pohon gede takutnya dia keropos bisa patah tuh pohon pas kita lagi lewatin?”
 ”Gw coba dulu yah!!” Jawab Saya.
Saya mulai mencoba naik kepohon yang tumbang itu untungnya pohon itu melintang tidak terlalu curam mungkin bisa Saya ibaratkan seperti Perosotan yang ada di taman kanak - kanak.
Saya merangkak pelan - pelan karena benar - benar licin permukaannya dan Saya kawatir batang kayu yang besar itu sudah rapuh, kayu tua yang sudah tak ada kulit pohonya sedikitpun dan berbalut lumut. Setelah Saya terlihat aman menaiki pohon tumbang satu persatu mereka bertigapun membuntuti Saya dibelakang dengan menjaga jarak akhirnya Kami sampai kebawah. 
Perjalananpun mulai Kami lanjutkan kembali, langitpun semakin gelap malam hari sebentar lagi tiba, Kami cepat-cepat mencari tempat yang kira-kira aman untuk mendirikan tenda untuk  bermalam. 
Keadaan Kami  semakin memburuk fisik Kami mulai menurun dan sangat lemas Kami semua hanya bisa memaksakan melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya Kami menemukan tempat untuk bermalam karena keadaan hutan sudah cukup gelap Kami semua tidak mau mengambil resiko apapun untuk melanjutkan track malam.

Malam Kedua Kami Mengalami Salah satu Misteri di Gunung Ciremai

Akhirnya Kami melihat di sebrang sungai ada tempat yang kira-kira kurang lebih panjang dan lebarnya 3x2 meter yang berada persis sebelum air terjun yang tingginya puluhan meter sampai kebawahnya, Kami semua tidak melihat dasar dari jatuhnya air aliran sungai yang tepat berada kira-kira 1,5 meter dari tempat Kami mendirikan tenda. Kami tidak bisa mendirikan tenda selayaknya karena keadaan tempat yang Kami pilih ada ranting-ranting pohon ditempat itu seperti membuat atap dan akhirnya Kami mendirikan tenda ala kadarnya, yang penting Kami terlindung dari dinginnya malam dan terlindungi dari embun. 
Pintu tenda Kamipun menghadap kejurang air terjun yang ada didepan Kami jarak pintu tenda Kami ke jurang hanya terhalang batuan yang tidak besar dan pohon yang merambat dibibir tebing, jadi Kami terhapit disebelah kiri Kami aliran sungai didepan Kami jurang sebelah kanan Kami pepohonan yang cukup lebat dan penuh rerantingan.
 Setelah tenda Kami berdiri yang tidak jelas bentuknya Kami mulai menyalahkan lampu badai yang Kami bawa, satu Kami taruh dibibir jurang tepatnya didepan tenda diatas batu yang membatasi jurang yang satu lagi Kami taruh didepan pintu tenda digantung dengan beberapa ranting pohon. 
Cahaya lampu yang Kami nyalakan lumayan agak membantu untuk pandangan mata Kami melihat sekitar depan tenda, terus terang Kami sebenarnya sangat takut di tempat yang Kami putuskan untuk bermalam, semua terpaksa harus memilih tempat ini karena Kami sudah tidak mungkin lagi bisa melewati air terjun yang sangat tinggi dan keadaan haripun sudah semakin gelap. Rasa dingin malam mulai terasa dan rasa lapar Kamipun semakin menjadi Kami semua hanya bisa menahannya, karena tak ada lagi yang bisa Kami lakukan pada saat itu selain berharap bisa keluar dari hutan ini. Selama Kami belum bisa memejamkan mata obrolan Kami berempat hanya bisa memberi semangat satu dengan yang lainya, kata-kata yang sering keluar dari mulut Kami.
"Kita pasti bisa pulang”
Kami merasa semakin solid tidak ada lagi perdebatan yang pernah ada diantara Kami dalam memutuskan sesuatu, Kami semua merasa lebih saling menjaga satu dengan yang lainnya. Yang sangat Kami khawatirkan pada saat itu Kami kehilangan salah satu diantara Kami karena keadaan yang sangat kritis Kami sudah dua hari satu malam lambung Kami tidak terisi apapun kecuali air dan pucuk - pucuk daun yang Kami bisa makan pada saat itu. 
Kami semua mulai berusaha memejamkan mata Kami, posisi Kami di dalam tenda Naning berada persis di dekat mulut tenda, Saya berada di sebelahnya di lanjutkan Encam disebelah Saya dan Peking ada di paling kanan dari Kami. Suasana di sekitar Kami sangat hening dan terdengar hanya suara – suara alami di hutan itu , Saya seperti orang yang setengah tidur mendengar suara burung yang hinggap diatas tenda Kami, mengeluarkan bunyi layak nya burung yang sedang hinggap didahan pohon, disaat Saya mulai tertidur tiba-tiba Naning yang berada disebelah kiri Saya berteriak sambil ia menangis sampai tubuhnya gemetaran.
"ALLAHUAKBAR………..ALLAHUAKBAR .AKBAR....LAILAHHAILAULOH........ASTAGFIRULLAHALADZIM.....YA ALLAH..............!!!”
Terus-menerus Naning berteriak tidak berhenti Saya langsung kaget dan panik, Saya takut terjadi apa-apa dengan Naning. Encam dan Peking pun masih tertidur seakan - akan mereka tidak mendengar teriakan dari Naning. Saya langsung menyikut tulang iga Encam yang tepat berada di sebelah kanan Saya lalu dengan rasa kesakitan sikutan Saya Encam terbangun dan Pekingpun terbangun, Kami semua dengan rasa ketakutan dan panik pada saat itu melihat Naning berterik dengan rasa takut yang luar biasa sampai ia gemetar sambil menangis,Kami bertanya kepadanya.
"Kenapa lo Ning ada apa?”
Terus Kami bertanya dan Naningpun bergeser mendekati Kami ia hanya menjawab,
"YA ALLAH .....LAA ILLALLAH.......GW PINGIN MALAM INI KITA SEMUA JANGAN ADA YANG TIDUR KITA SEMUA BERDO'A SAMBIL NUNGGU PAGI, GW MOHON KITA SEMUA MALAM INI JANGAN ADA YANG TIDUR GW MINTA CUMA ITU !!!”
Kami terus bertanya,
“Ia ada apa Ning?”
Naning tetap menjawab seperti tadi ia tidak mau menceriakan apa yang telah terjadi dengannya, suasana semakin terasa tidak nyaman lampu yang Kami taruh dibibir jurangpun mati dengan sendirinya. 
Kami semua tidak kuat melihat Naning yang terus ketakutan dan tidak berhenti menangis Kami bertiga tidak bisa menahan air mata, Kami semua berdo'a memohaon kepada Allah SWT semoga Kami semua selalu di lindunginya. 
Suasana semakin terharu saat Encam berdo'a secara spontan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyentuh dan mengungkapkan seluruh kepasrahan kepada Allah SWT, kata-kata yang keluar dari mulutnya yang Saya masih sedikit ingat.
"Ya Allah memang Kami makhluk yang sangat lemah yang penuh dengan dosa dan Kami makhluk yang sangat lah kecil mungkin lebih kecil dari butiran debu tolong selamat kan Kami dari hutan belantara ini keluarkan Kami dari hutan belantara ini ya Allah Kami memohon kepadamu karena engkau adalah maha pengasih maha penyayang, maha dari segala maha Kami hanya bisa memohon kepadamu karena hanya engkaulah yang mampu menyelamatkan Kami semua, dari hutan belantara ini ?”
Tak satupun dari Kami yang bisa memejamkan mata, suasana didalam tenda benar - benar yang Kami rasakan sangat amat mengharukan Kami hanya bisa duduk berkumpul saling berdekatan dan benar - benar memasrahkan dan mengikhlaskan apapun yang akan terjadi kepada Kami berempat pada malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lirik Lagu Boy With Luv-BTS

2019. Lagu berjudul Boy with Luv dipercaya sebagai title track utama di album Map of the Soul: Persona. Di lagu ini BTS mendapat kesempat...