Sabtu, 14 Maret 2020

Kisah Pendaki Tersesat di Gunung Ciremai - PART4

PART 4

Hari Ketiga Kami Tersesat

Waktupun terus Kami lalui dengan kondisi  dan suasana yang sangat buruk Kami hanya bisa menjaga satu sama lainnya agar tak terjadi apa - apa diantara Kami pada malam itu saat berada di dalam tenda, akhirnya Kami sampai menemui pagi hari kurang lebih pukul 05:30, Kami semua dengan kondisi yang sangat buruk entah fisik Kami maupun mental Kami yang masing - masing semakin  memburuk dan adanya kejadian semalam yang dialami oleh Naning. 
Kami semua keluar dari tenda dan salah satu dari Kami ingin mematikan kedua lampu badai yang Kami nyalakan kemarin, ternyata yang menyala tersisa hanya satu yaitu yang Kami taruh di depan pintu tenda dan yang satunya yang Kami taruh sebelumya di perbatasan jarak antara jurang dan tenda yang ada didepan Kami. Kondisi lampu itu ternyata mati dan lampunya pecah seperti terlempar batu dan yang uniknya tak sedikit pun lampu itu bergeser dari tempat asalnya Kami simpan, tapi lampu itu seperti terlihat terkena benturan benda keras, Kami hanya bisa saling menanyakan karena cukup aneh tidak masuk di akal.
"Kenapa bisa pecah yah lampu padahal nih lampu gak bergeser atau jatuh dari tempatnya di taruh?”
Kami semua sampai saat ini belum tahu penyebabnya. Akhirnya Kami  melipat tenda dan mengemasi barang - barang yang Kami bawa, di keadaaan hutan sekeliling yang masih agak gelap karena belum ada pantulan sinar matahari yang masuk ke dalam hutan.
 Kabut dan embun pagi  masih terlihat tebal keadaan yang sangat dingin Kami tidak menyempatkan memasak air untuk menghangatkan lambung Kami yang kosong, karena yang ada dalam pikiran Kami semua harus cepat menemukan jalan untuk keluar dari hutan ini.
 Akhirnya Kami hanya bisa meminum air sungai yang ada didekat Kami yang sangat dingin Kami segera melanjutkan langkah untuk mencari jalan keluar. Kami semua kesulitan harus melewati jalur mana karena apabila Kami harus menelusuri aliran air, Kami semua harus melewati air terjun yang ada di depan Kami dan setelah Kami lihat tidak mungkin Kami bisa melewati air terjun itu. Karena benar - benar curam dari jarak Kami berdiri sampai kebawah sana,jaraknya mungkin puluhan meter dan bahkan Kami tak dapat melihat dengan jelas jatuhan air itu sampai ke bawah, apabila Kami mengambil jalan menaiki tebing dan menelusuri hutan yang hanya acuannya menjaga jarak dari sungai. Jangan sampai jauh dengan aliran sungai karena Kami semua sangat takut akan tersesat dan kesulitan mencari aliran sungai lagi, karena sebenarnya Kami sudah pernah mengalami itu dihari sebelumnya yang Saya tidak ceritakan. Sebenarnya mengapa Encam menaiki salah satu pohon yang tinggi dan Naning mencoba menanyakan arah pulang kesalah satu ekor burung, yang sangat banyak di hutan kering sana.
 Karena Kami semua sebelum dan sesudah memasuki hutan Kami mengalami sebuah kejadian yang sangat janggal yaitu Kami melihat arah matahari berubah - ubah empat arah, sedangkan sebenarnya arah matahari dari dahulu mungkin hingga nanti matahari hanya terbit dari timur dan tenggelam ke barat. Tetapi yang aku alami bukan seperti itu, pada saat itu Kami sebenarnya mengambil acuan arah matahari Kami akan turun kearah barat tetapi setelah selang Kami berjalan selalu berlawanan arah dengan apa yang Kami tuju. Malah Kami mengalami seakan-akan kembali lagi ketempat semula, Saya masih ingat sekali selama Kami melewati hutan belantara itu Kami selalu membuka jalan dan menandai jalan yang Kami lewati dengan memotong salah satu dahan yang ada di sekitar Kami, apabila kurang lebih Kami berjalan setengah atau satu jam, ternyata Kami pernah mengalami seperti melewati jalan yang sama. Oleh karena itu Kami sangat ketakutan apabila memasuki hutan belantara seperti itu lagi, tetapi mau tidak mau Kami harus menaiki tebing dan menuruninya untuk bisa sampai ke aliran sungai yang berada di bawah sana. 
Kami semua mulai menaiki tebing lagi dan melewati hutan yang sangat alami itu, Kami terus mengarah ke arah yang lebih landai atau turun dengan berpegangan ranting dan dahan-dahan yang ada disana. Semakin lama Kami semakin terus mengarah turun Encampun masih menjadi orang yang membuka jalan Kami bertiga mengikuti di belakang nya tiba-tiba Encam berhenti ia bicara kepada Kami, "Kayaknya kita mau gak mau bagaimana caranya kita harus tetep ambil arah yang terus turun, karena gw gak mau kita masuk lebih dalem lagi ngejauhin aliran sungai!”
Di depan Kami jalurnya semakin agak curam Kami hanya bisa berpegangan kedahan-dahan agar tidak terjatuh, semakin Kami terus berjalan untuk melewati jalan yang semakin curam itu. Untuk melewatinya Kami sampai tak bisa lagi berdiri karena ranting atau dahan semakin kecil dan Kami harus duduk (posisi nongkrong) dan sangat pelan-pelan sekali merayap tiba - tiba Encam yang di depan Kami bertiga teriak.
"Tahan..,tahan.. Jangan ada yang bergerak lagi semua mundur...mundur....pelan - pelan”
Saya yang persis ada dibelakang Encam memang merasakan tanah yang Saya duduki atau alas di bawah Saya terasa bergerak pelan semakin amblas ke bawah seperti tidak kuat menahan beban Kami. Kami semua bergerak mundur dengan sangat pelan - pelan ternyata jalur yang Kami lewati, di depan Encam  jurang yang sangat tinggi Kami semua tidak tahu didepan Kami jurang karena selama Kami duduk merangkak sekeliling Kami penuh ranting-ranting kecil beserta dedaunan dan akar-akar yang merambat yang sangat rimbun menutupi pandangan luas Kami. 
Ternyata pada waktu Encam berteriak mundur dan ia bergerak mundur berlahan-lahan tanpa sadar, Encam saat melihat ke bawah dari celah - celah ia sudah menggantung melewati bibir tebing jurang itu ia melihat kebawah ternyata yang ia lihat pucuk-pucuk pepohonan yang berada di bawah sana, Encam merasa yang ia duduki semakin cepat bergerak kebawah (amblas), dan ternyata yang di bawahnya yang ia duduki hannya akar-akaran pepohonan yang merambat hingga terbentuk seolah-olah seperti tanah yang terbuat dari akar-akaran. 
Ternyata tanpa Kami sadari berempat jarak antara Kami sangat berdekatan, Kami semua ternyata sudah berada tergantung sudah melewati bibir tebing jadi Kami semua hanya tertahan akar-akar pepohonan yang merambat yang dipenuhi daun-daun kering yang terbentuk dengan alami selayaknya tanah.
Setelah Kami sudah ditempat yang agak aman dan benar - benar yang Kami duduki tanah, Encam mengatakan kepada Kami sambil mengelus-elus dadanya
 "Astagfirullah Aladzim, di bawah gw tadi ternyata jurang dalem banget, ternyata kita semua ngegantung di akar ternyata itu akar, bukan tanah. Pokoknya kita semua mulai sekarang harus lebih hati-hati gw gak tahu apa jadinya klo akar itu patah?”
Setelah Kami berhenti sebentar sambil meminum air, Kamipun mulai melanjutkan perjalanan kembali sekitar satu jam perjalanan Kami menemukan aliran sungai kembali. Sungai itu lagi-lagi berada dibawah sana Kami melewati tebing kembali dan dengan cara yang sama seperti sebelumnya Kami melewatinya nyaris tergantung untuk menuruni tebing itu. 
Setelah sampai lagi Kami kesungai Kami melewati sungai yang airnya mengalir pelan sangat jernih yang tidak terlalu dalam airnya seperti sungai sebelumnya kemudian Kami bertemu lagi air terjun yang tingginya kurang lebih setinggi tiang listrik. Dan yang uniknya tebing air terjun itu seperti perosotan yang ada di kolam renang atau Waterboom, dengan ketinggian yang Kami kira-kira cukup mampu untuk menuruninya dengan memaksakan karena dibandingkan harus melewati hutan lagi yang tidak tahu ada apa di depan sana lebih baik Kami semua terus mengikuti jalur aliran sungai. Encam langsung meminta tali yang ada di carrier Saya,
"Tis keluarin tali.”
Saya langsung melepas carrier yang ada di punggung Saya ternyata setelah Saya lihat tali itu tidak ada dicarrier Saya.
"Cam kok talinya gak ada yah, padahal lo tahukan tuh tali di taruh di balik bag cover persis di belakang kepala gw yah tapi ko gak ada yah?” Tanya Saya bingung.
"Yang bener Tis, Coba kita cari?” Jawab Encam penasaran.
Kami semua terus mencari sampai dengan rasa penasaran yang benar - benar Kami semua tahu sebelumnya tali itu di carrier Saya tidak pernah pindah dicarrier siapapun dari Kami berempat Kami sampai mencari kecarrier yang dibawa masing-masing hasilnyapun nihil tali Gunung yang Kami bawa hilang entah kemana. Kami semua benar-benar merasa aneh lagi -lagi apa yang Kami butuhkan lenyap entah kemana, akhirnya Kami semua berpikir sambil melihat keadaan tebing yang Kami akan turuni akhirnya Saya berkata kepada Encam dengan rasa yang tidak mungkin bisa Kami melewati air terjun itu.
"Cam  kayaknya kita gak bisa  turun mungkin satu - satunya cara merosot kaya di Waterboom!”
"Kayaknya mau ga mau kita pake cara lo Tis!!!” Sahut Encam.
"Sumpah tapi gw ngeri baget Cam resikonya gede baget di bawah ada batu gede terus ada air terjun lagi di bawah sanah gw takut kepental ke sana Cam?” Jawab Saya sambil panik.
"Ayo Tis kita coba dulu pasti bisa?” Seru Encam.
Encam mulai mencoba duduk persis seperti kita mau turun menaiki perosotan di Waterboom, 
"Do'ain gw yah semoga bisa sampai kebawah”
 "Liatin gw yah ?”
Akhirnya Encam meluncur cepat kebawah sana dan ia setelah mendekati batu besar yang dibawah ia menggerakkan tubuhnya ke kanan dan membenturkan carrielnya kebatu besar itu. 
Sro..o.o..ott..Bugggggg!!.
Encampun sampai kebawah, ia terpental akibat terbentur batu besar itu, untungnya ia tidak kepental sampai air terjun yang ada lagi dibawah sana ia merasa kesakitan, Kami semua memanggilnya,
" Cam....Lo ga apa - apa?”
"Gw gak apa - apa, Ayo kita bisa turun Tis gw jagain dah lo di bawah lo ikutin cara gw aja!” Encam menjawab dari bawah sambil merasa kesakitan.
Lalu Peking  mulai turun ke bawah sana dengan cara yang sama seperti Encam menuruninya, Encam menunggu Peking siap - siap dibawah sana menangkap Peking agar tidak terpental jauh, dan Naning mulai turun dan ia pun sampai ke bawah sana.
Entah kenapa Saya masih tidak berani untuk turun ke bawah sama mereka bertiga memanggil Saya,
"Tis ayo turun gak apa - apa lo pasti bisa!”
Saya tetap saja belum berani menuruni air terjun itu.
"Gini aja Tis lo turun, gw di bawah sama yang lain sompo - sompoan kan gak terlalu tinggi lo tabrak gw aja semua!” Kata Encam memutuskan.
Saya benar - benar salut dengan rasa kebersamaan Kami dalam menghadapi kondisi yang seperti itu, Saya melihat mereka di bawah sana seperti panjat pinang. Peking naik ke punggung Encam, dan si Naning naik di punggung peking. Akhirnya Saya meluncur ke bawah sana menabrak mereka. Kami semua terjatuh.
 Saya sangat salut dengan mereka bertiga, walaupun mereka sakit tertimpah Saya, mereka masih bisa tersenyum dan mengatakan,
"Tuh kan pasti bisa lo Tis gak apa - apa kan!”
 Kami semua sangat bersyukur tidak ada satupun dari Kami yang mengalami luka yang serius hanya daerah pinggul Encam mengalami memar akibat benturan batu besar tadi, Kami semua melanjutkan lagi melewati air terjun yang ada di depan Kami yang tidak terlalu tinggi Kami lebih mudah menuruninya dengan cara memegang celah - celah dinding tebing air terjun. Kami terus menelusuri aliran air terjun yang baru saja Kami lewati itu, lagi-lagi perjalanan Kami harus terhenti karena di depan Kami ada lagi air terjun yang agak tinggi mungkin sekitar sepuluh meter jaraknya sampai bawah sana, Kami semua merasa kesulitan untuk menuruninya karena cela-cela tebing agak sulit untuk Kami semua jadikan pijakkan atau pegangan Kami. Tebingnya pun belumut dan sangat licin karena aliran air yang membasahi tebing itu, mungkin apabila tali yang Kami bawa tidak hilang mungkin Kami bisa menuruninya, Kami berempat hanya bisa melihat dan memikirkan bagaimana caranya Kami bisa menuruni air terjun itu, tiba-tiba Encam menjauh dari Kami bertiga yang masih melihat-lihat mencari celah bagaimana caranya menuruninya. Encam mendekati tebing yang ada disekitar Kami semua ia berdiri menyender di tebing, Saya menoleh kearah Encam tangan kanan Encam seperti memegang-megang dinding tebing itu yang di penuhi tanaman merambat. Tiba - tiba tangan kanan Encam seperti menarik sesuatu dari tebing itu ternyata ia menarik akar yang besarnya kurang lebih tiga jari orang dewasa terus ia tarik terus memanjang Encam berkata
 "Ini alam  masih nyediain tali buat kita turun!”
Kami semua membantu menarik akar itu yang kurang lebih seperti dadung tetapi di akar itu ada daun-daun kecil yang menempel disekitar akar itu.
 Alhamdulillah akar itu panjangnya sampai kebawah sana, Encam menyuruh Kami. 
"Cepet turun duluan gw jagain tali ini dari atas!”
 Ia langsung mengikat akar itu ke bebatuan yang ada di dekat bibir air terjun itu, Peking mengawali menuruni air terjun itu dengan pelan - pelan dengan cara salah satu tangannya memegang akar dan yang satunya memegang bebatuan di antara dinding tebing tersebut. 
Akhirnya Peking dan Naning sampai ke bawah sana dengan selamat, tibalah giliran Saya menuruni tebing itu sebelum Saya turun Encam memperingati Saya, 
"Hati - hati tis licin,"
 "Ia Cam Bismillahirrahmanirrahim!" Jawab saya.
 Saya mulai memegang akar itu untuk turun kebawah sana kurang lebih Saya baru turun sekitar dua meter tiba-tiba akar itu putus tangan Saya yang memegang cela batu di tebing air terjun itu pun terlepas Saya langsung jatuh kebawah kepala Saya menghantar batu yang ada di bawah sana. 
Yang Saya masih ingat saat kejadian itu Saya hanya berucap,
"Ya Allah. Kepala gw pecah Cam?” 
Tiba - tiba Saya membuka mata Encam sudah ada di atas Saya Encam menangis sedang menampari pipi Saya dengan kedua tangannya sambil berkata, 
"Gw udah bilang  sama Lo hati-hati  tebingnya Licin bangun-bangun Tis?”
 "Kepala gw pecah Cam?” Jawab saya. 
Sambil memegang kepala Saya yang terasa sakit Saya melihat tangan yang memegang kearah yang sakit ternyata tangan Saya berdarah 
"Cam kepala gw berdarah?” 
Encam dan yang lainya membohongi Saya.
"Ga lo gak apa - apa ga ada yang berdarah lo gak apa - apa!”
Dengan pandangan mata Saya yang belum jelas Saya dibantu ketiga kawan Saya untuk bagun Saya langsung melihat tangan Saya ternyata benar - benar berdarah, darah itu untungnya hanya berasal dari daun telinga kanan Saya yang sobek terbentur batu tadi, tak lama kemudian Saya bisa berdiri lagi walaupun kondisi Saya pada saat itu benar-benar tubuh Saya merasa lemas dan sakit. 
Kami melanjutkan kembali perjalanan hanya beberapa langkah dari tempat Saya terjatuh tiba - tiba hujan turun agak lebat. Kami berlindung di balik tebing yang ada di dekat Kami sambil merapatkan badan Kami ke dinding tebing untuk berlindung dari hujan, selama Kami berdiam di dinding tebing itu Encam dan Peking entah sedang membicarakan apa karena jujur Saya pada saat itu hanya berdiam menahan rasa sakit dari terjatuh tadi, anehnya Saya terasa mulai sangat lemas, dingin dan merasa sangat mengantuk yang terasa di tubuh Saya karena hujan yang agak deras turun setiap mata Saya mau menutup dan tertidur tiba - tiba Naning yang persis berdiri di sebelah Saya. Sikut Naning menghantam tulang rusuk Saya dan Sayapun terbagun Naning selalu mengatakan kepada Saya dengan terlihat sangat sedih terus memberi semangat kepada Saya 
"Tis bangun..bangun..bangun jangan tidur kita pasti pulang!”
Karena pada saat itu kondisi Saya yang paling buruk dari Kami berempat, tetapi mereka bertigapun sudah mulai lemas karena Kami semua sudah dua malam tiga hari perut Kami tidak terisi apapun kecuali air dan pucuk-pucuk dedaunan yang Kami makan selama dalam perjalanan itu. Pada saat itu Saya sangat terlihat pucat sampai jari-jari tangan dan bibir Saya terlihat seperti tidak ada darah mengalir itulah alasan mengapa Naning menyikut Saya, karena itu ia takut Saya apabila memejamkan mata akan bablas terus tidak bisa melanjutkan perjalanan pulang lagi (meninggal) saat itu.
Hujanpun berlahan mulai mengecil dan berhenti sebelum Kami semua melanjutkan perjalanan lagi, ketiga kawan Saya semua mengkhawatirkan keadaan Saya Encam memberikan semangat kepada Saya
 “Tis masih kuat kan kita lanjutin jalan lagi sebentar lagi juga kita pulang!”
Kami berempat mulai lagi melanjutkan perjalanan untungnya Kami setelah melewati air terjun yang Saya terjatuh Kami tidak lagi menemukan air terjun lagi, aliran air yang Kami lewati mulai lebih deras dari yang sebelum-sebelumnya  selama Kami lalui. 
Kami semua terus berjalan menyusuri aliran air sungai, Kami berempat mulai merasakan sekarang Kami sudah melewati lembah Gunung Ciremai itu karena Kami semua mulai melihat pepohonan yang hidup di dataran rendah. Kami semua berjalan masih seperti biasa membentuk barisan Saya melihat lidah sepatu yang mengambang melewati Kami berempat, Sayapun langsung berucap 
"Woy mudah mudahan kita dah di dataran rendah tuh ada lidah sepatu yang kebawa air siapa tahu ada kehidupan?” 
Itu yang terucap oleh Saya karena selama perjalanan sudah tiga hari Kami tidak menemukan makhluk hidup kecuali Kami berempat dan burung - burung penghuni lembah Ciremai.
Dan sebenarnya ungkapan ini Encam ucapkan setelah Kami dalam perjalanan pulang, Sebelum Saya melihat lidah sepatu yang mengambang ternyata Encam sebelumnya melihat jaket mengambang yang persis seperti ada orangnya (orang mati menggunakan jaket dalam posisi telungkup) karena Encam melihat jaket itu membentuk badan yang sedang telungkup Encam mengira Kami semuapun melihat jaket itu, jujur Saya terus terang tidak melihat jaket yang mengambang di dekat Kami Naning dan Peking sama ia tidak melihat nya.
Tak lama berselang aliran air sungai membelok ke kanan di depan Kami sebelum Kami berbelok mengikuti arah aliran sungai, di antara Kami ada yang melihat pohon pisang 
"Woy tuh ada pohon pisang ada pisangnya lagi, lumayan buat ganjel perut!” 
Kami semua dengan cepat menuju kearah pohon pisang itu walaupun buah pisangnya masih mentah, salah satu dari Kami langsung memotong pohon pisang itu Kami semua sangat gembira menemukan buah pisang. Walaupun pisang itu mentah Kami berempat tidak menunggu lama pisang itu Kami langsung makan, ternyata pisang itu tidak seperti pisang biasa nya. Karena pisang itu waktu Kami telan terasa pahit dan seperti di dalam tenggorokan Kami terasa kering dan susah untuk menelannya. Tenggorokan Kami seperti tercekik salah satu dari Kami mulai ada yang berteriak 
"Jangan dimakan lagi gw takut nih pisang bukan kaya pisang biasanya gw takutnya nih pisang racun?” 
Akhirnya Kami membuang pisang itu. Encam langsung membelah buah pisang itu ternyata benar - benar baru Saya temukan jenis pisang seperti itu dalamnya seperti banyak biji - biji tetapi bukan seperti pisang batu tepatnya hampir mirip dengan ketimun. Buah pisang satu tandan yang dari pohonya kita ambil tadi yang tidak bisa di makan sambil Kami beristirahat sebentar di tempat itu Encam mencincang sisa buah pisang itu untuk dialirkan keair, tujuannya Kami berharap ada petani atau orang yang di ladang mengetahui ada kehidupan di atas karena Kami mengalirkan cincangan buah pisang itu sangat banyak. 
Setelah selesai Encam mencincang pisang satu tandan itu lalu Kami melanjutkan perjalanan lagi, masih sama Kami menyusuri aliran sungai Saya mulai sering terjatuh setiap melangkah Naning yang berjalan di belakang Saya selalu membantu membangun kan Saya agar bisa melanjutkan perjalanan lagi. Naning bertanya kepada Saya 
"Kenapa lo Tis, hati - hati, kok lo sering banget jatuh?” 
"Gak tahu nih Ning gw kepeleset terus!” Jawab saya.
Sebenarnya penyebabnya bukan hanya karena batu - batu kali yang tajam menembus telapak kaki Saya yang terasa cukup perih tanpa alas sedikitpun tetapi karena tenaga Saya seperti sudah hampir habis tidak kuat lagi untuk melangkahkan kaki namun tetap Saya harus memaksakan untuk terus melangkahkan kaki semampuh mungkin.
Hutan Pinus Pemandu Jalan Kami Keluar

Dengan kondisi Kami yang semakin memburuk selama menyusuri aliran air sungai rasa lemas yang sangat luar biasa lambung Kami yang semakin sakit dan Saya berdua Encam sudah tidak menghiraukan luka-luka yang ada di seluruh tangan dan kaki Kami berdua. Rasa takut yang semakin terus bertambah, dengan sendirinya airmata Sayapun keluar dengan sendirinya disela perjalanan Saya mengucap sebuah janji (Nazar).

"Ya Allah kalau Saya  bisa keluar dan selamat dari hutan ini Saya berjanji akan berpuasa senin Kamis, itu janji Saya Ya Allah tolong selamatkan Kami dan keluarkan Kami dari hutan ini?” 
Setelah Saya mengucapkan Nazar Naning dan Pekingpun ikut mengucapkan janji yang sama, setahu Saya hanya Encam saja yang tidak mengucapkan janji itu. Mungkin kurang lebih 2-3 jam Kami berjalan menyusuri aliran sungai dari tempat Saya Nazar, mata Saya melihat kearah atas tebing yang ada di sebelah kanan dan kiri Kami. 
Tidak sengaja Saya melihat hutan pinus diatas sana Saya langsung berkata 
"Cam ada hutan pinus diatas tuh?” 
"Mana Tis..Oh ia itu ada diatas sana!” Tanya mereka.
Kami semua berpikir pada saat melihat hutan pinus pasti Kami semua sudah berada didataran rendah. Karena pohon-pohon pinus tidak dapat hidup di dataran yang tinggi dan hutan pinus pasti ditanam, Kami semua sangat yakin pasti diatas sana ada kehidupan selain Kami (maksudnya kemungkinan besar Kami bisa bertemu manusia selain Kami berempat). 
Akhirnya Kami berempat memikirkan bagaimana bisa melewati tebing yang curam dan sangat tinggi itu karena hutan pinus itu ada diatas sana, Kami semua membandingkan mau ambil jalur tebing yang ada di sebelah kiri Kami atau sebaliknya karena Kami harus benar-benar memilih jalur yang mampu Kami panjat, Karena dalam kondisi yang sangat lemas itu, jangankan memanjat untuk berjalan kaki saja Saya sering terjatuh hampir-hampir tidak mampu lagi melanjutkan langkah.
 Dan Kami semua mulai memutuskan Kami harus bisa sampai keatas sana karena dalam pikiran Kami pasti tidak jauh dari hutan pinus ada pemukiman penduduk dikaki Gunung itu, oleh karena itu Kami semua harus berusaha sekuat mungkin agar segera sampai ke atas tebing itu. Kami semua berdoa semoga Kami semua bisa selamat sampai ke atas sana dan juga semoga dugaan Kami semua benar bahwa diatas sana ada pemukiman penduduk. Naning dan Encam mulai memanjat tebing itu Saya dan Peking mengikuti dibelakangnya, tebing yang sangat terjalpun Kami mulai panjat untuk bisa keatas sana Kami benar - benar merasa kesulitan ranting dan akar yang merambat ditebing sana tidak mampu menahan beban Kami karena dinding tebing agak lembab dan gembur.    Selain tanah tebing yang mudah longsor apabila Kami pijak atau Kami pegang, ranting dan akar yang merambatpun mudah lepas dari tanah itu dan kondisi Kami semua betul - betul sudah sangat lemas. 
Dengan sangat hati-hati Kami memanjat dan sangat lambat karena tubuh Kami yang sangat lemas lagi - lagi Kami menggantungkan nasib Kami kepada kesepuluh jari Kami karena untuk dapat bertahan mengelantung ditebing itu, Kami semua harus menusukan jari - jari Kami ketanah atau dinding tebing itu, Kami baru bisa menarik nafas Kami apabila Kami anggap Kami aman di antara dinding tebing, dan Kami sambil membagi air minum yang Kami miliki. Terus Kami lakukan seperti itu bahkan sering sekali salah satu dari Kami hampir terlepas dari pegangan atau pijakan Kami, dan ada juga sampai tergelincir, Naning dan Encam sampai ke atas tebing itu, Sayapun memaksa mempercepat untuk bisa naik ke atas sana. Tiba - tiba Encam berteriak, 
"Ning ada orang tuh?”
Naning langsung berlari mendekati orang itu Saya dan Peking tidak bisa menahan rasa syukur tak terasa air mata Sayapun keluar dengan sendirinya saat Saya sudah berada diatas tebing itu. Naning langsung menagkap ke dua kaki orang itu dan iapun tak kuat menahan tangis syukur, Encam langsung mencabut belatinya langsung ia pukulkan ketangan kirinya dengan cukup keras, 
Peletaaakkk...!!
"Aduh..ternyata beneran gw gak mimpi!”
Naning langsung meminta tolong kepada orang itu, "Bu, tolong Bu Kami baru saja tersesat dihutan sana di mana perkampungan yang terdekat disini Bu?” 
Ibu - ibu setengah baya itu yang memakai caping (topi untuk keladang) yang berpakaian hitam semua dan sorot matanya yang sangat  tajam melihat Kami. Ia tidak banyak berbicara ia hanya mengatakan,
"Saya tidak bisa bantu apa-apa Saya tidak punya makanan, arah perkampungan ada di sebelah sana?”
 Sambil menunjukan jarinya kearah perkampungan itu, Kamipun langsung meninggalkan ibu setengah baya itu kearah perkampungan yang ibu itu tunjukkan. Dengan setengah berlari Kami kearah perkampungan itu Kami melewati kebun tomat dengan perut yang terasa sangat amat lapar Kamipun memetik tomat itu dan memakannya dengan sangat lahap, akhirnya Kami berhenti untuk memakan beberapa tomat itu setelah perut Kami terganjal oleh tomat. Saya baru menyadari hampir seluruh tubuh kecuali bagian  muka, Saya dan Encam banyak sekali luka yang masih mengeluarkan darah, Kami lihat didekat Kami ada sungai kecil yang mengalir kearah pemukiman yang Kami tuju Kami semua menyempatkan membersih kan tubuh Kami yang sangat kotor dan dipenuhi luka. Setelah selesai Kami membersihkan tubuh Kami tiba-tiba naning membuang celana levisnya ke salah satu pohon di pinggir sungai itu, celana itupun tersangkut di salah satu pohon yang ada di sana Naning sambil mengucap 
"Nih Celana gw jadiin kenang-kenangan di Gunung ini (membuang sial)!”
Lalu Kami semua bergerak menuju kampung itu akhirnya Kami menemukan sebuah warung lalu Kami bertanya, 
"Bu ini desa apa?” 
Ibu itu menjawab dengan wajah yang terlihat ketakutan melihat Kami berempat mungkin karena ada di antara Kami tubuh yang dipenuhi dengan luka-luka dan darah yang terus masih keluar dari tangan dan kaki Saya dan Encam, ibu itupun menjawab 
"Nama desa ini palutungan!”
Kamipun semua kaget mendengar nama desa tersebut dan merasa tidak percaya ternyata Kami masih di palutungan seharusnya selama Kami tersesat tiga hari dua malam menurut Kami semua sudah jauh dari desa awal Kami mendaki. Dengan perut yang kosong Kami semua tak menyia-nyiakan makanan yang ada di meja warung itu Kami terus menyantap makanan yang ada dimeja dengan sangat lahap sampai - sampai Kami tidak menghiraukan orang yang berada diwarung itu, mereka semua hanya bisa melihat Kami, tak ada salah satupun dari mereka yang menanyakan Kami mungkin di dalam hatinya orang-orang itu Kami semua di anggap seperti orang yang baru melihat makanan (kelaparan). 
Akhirnya Kami memesan makan kepada ibu pemilik warung yang di bantu oleh anaknya, ibu itupun menaruh lauk-pauk yang ia jual diatas meja didepan Kami.
 Kami semua bergiliran menyendok nasi yang ada di bakul dan mengambil lauk pauk yang ada di meja Kami semua makan benar - benar dengan sangat lahap (kelaparan) dan orang lain yang ada diwarung selain Kami berempat kebetulan warung itu cukup ramia sewaktu mereka melihat atau memperhatikan Kami sedang makan apabila Kami lirik mereka seakan-akan mereka  membuang pandangannya. Nasi yang ada di mejapun ludes tidak tersisa, mungkin ibu pemilik warung melihat Kami kasihan sangat kelaparan ibu pemilik warung menawarkan lagi nasi 
"Jang masih palay tambih sanguna?” 
Naning bertanya kepada Saya karena mereka bertiga tidak terlalu mengerti bahasa sunda, 
"Apa kata ibu itu Tis?” 
Ibu itu bilang lo masih mau nambah nasinya lagi, Naning dan yang lainnyapun menjawab 
"Muhun-muhu Bu, klo ada boleh!” 
Ibu pemilik warung menyuruh anaknya mengambil nasi yang ada di dalam rumahnya mungkin nasi itu untuk makan keluarganya, sepertinya ibu itu sangat kasihan sekali kepada Kami karena benar - benar Kami terlihat sangat kelaparan. Lalu ibu itu memberikan lagi nasi yang diambil dari dalam rumahnya 
"Ini nasinya silahkan dimakan!”
"Memang Ujang - ujang  ini semua dari mana?” Tanya Ibu pemilik warung.
"Dari puncak Gunung Ciremai Bu!”
Ibu pemilik warung tidak menanyakan apa - apa lagi setelah Kami menjawab seperti itu, akhirnya nasi yang kedua kalinyapun ludes juga dan lauk-pauk yang di meja hampir tak tersisa Peking menghapiri ibu pemilik warung ia menanyakan, 
"Bu berapa tambah rokok sebungkus?”
 "Lima belas ribu aja jang!” Kata si Ibu.
 "Ga salah bu kita makan banyak bu kue minum lauk pauk dan nasi dua bakul dan tambah roko sebungkus?” Jawab Peking heran.
"Ia bener lima belas ribu saja!” Kata si Ibu membalas.
Kami semua benar–benar merasa sangat heran dengan ibu sipemilik warung, dan tingkah orang - orang yang berada di warung itu. 
Kenapa murah banget kita semua sudah hampir menghabisi jualanya, dan orang yang berada di warung itupun yang lumayan banyak karena warung itu tempat pemberhentian angkutan desa yang memakai mobil bak terbuka tidak ada satupun dari mereka yang menanyakan kami kecuali ibu sipemilik warung itu, Peking langsung membayarnya, 
"Terima kasih banyak Bu, Oh ia Bu kalau mau ke terminal naik angkutan itu dulu yah bu?”
"Iya jang nanti setelah naik angkutan itu sampai mentok, Ujang trus naik angkot lagi yang jurusan terminal kuningan!” Jelas si Ibu pemilik warung.
"Oh begitu bu terima kasih yah bu Kami pamit yah Bu!” Kata Peking sambil pamit.
Kami semua menuju angkot bak yang terbuka itu kebetulan angkutan itu sudah mulai penuh, Kami berempat duduk ditepi bak belakang karena alasannya takut orang-orang yang ada di angkot itu tidak mau berdekatan dengan Kami, karena darah yang terus masih keluar dari luka-luka Saya dan Encam. Tidak lama kemudian angkutan umum itupun penuh, supir angkutanpun mulai menghidupan mesin Kami berempat mulai meninggalkan desa yang awal Kami singgahi keluar dari hutan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Lirik Lagu Boy With Luv-BTS

2019. Lagu berjudul Boy with Luv dipercaya sebagai title track utama di album Map of the Soul: Persona. Di lagu ini BTS mendapat kesempat...